Kamis, 15 Januari 2015

DITOLAK KOMPAS LARI KE FIP

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
SELAMAAAAAAT 2015 SELAMAAAT SKRIPSI :) 


1 tahun vakum dari dunia blogging nih,
1 tahun ga corat caret my web diary.. hehe 
Tenang aja bukan mau curhat 1 tahun yang lalu ko. Apalagi Skripsi, bukan tenang aja bukan. hihi.. Singkat kata, karena aku udah kehilangan semua file corat coret di laptop jadi mending aku simpen di sini aja deh ya. Dulu si udah pernah di upload di sini tapi tak hapus. Yupz ini cerpenku the one and only :-D 
Untungnya buka-buka email masih ada di kotak keluar. Udah pernah tek kirim ke Kompas dan ditolak, Jawa Pos gak ada jawaban udah pernah tak translate ke basa Jawa juga demi tugas kuliah, haha. Dan Finally tembusnya di fakultas. Lumayan lah juara 3 di FIP Got Talents. 

Aku lupa yang pas jadi nominasi di FIP itu udah tek edit apa belum adanya mentahan ini deh. Dari judulnya serem ya? Enggak kok tenang aja :) 



JEJAK KAKI PENJAGA MAKAM

Mungkin orang-orang sudah bosan melihatku mengelilingi rumah kosong ini. Hampir setiap hari aku keluar masuk bangunan tua dan usam ini, namun tak terlintas sedikitpun untuk ku bersihkan. Pernah suatu kali aku berpapasan dengan kakek tua di depan rumah kosong ini. Dia menanyakan apa sebenarnya yang aku lakukan setiap hari? Ya, aku hanya menjawabnya dengan senyuman seadanya. Warga kampung selalu bergunjing tentangku dan ku biarkan saja telinga ini panas. Aku tak peduli mereka menganggapku orang bodoh, orang gila ataupun sinting. Banyak yang bilang aku mencari harta karun di rumah peninggalan Jepang yang tak berpenghuni bahkan mengiraku pesugihan.
Tak heran mereka mencercaku seperti itu, karena aku memang terlahir dengan wajah bodoh adnoidku ini. Semasa kecil, aku disarankan untuk sekolah di sekolah luar biasa. Para guru memvonisku cacat mental, tapi beruntungnya ibuku tak mengindahkan itu. Karena dokter tak pernah men-judge ku sakit bahkan keterbelakangan mental. Aku memang pendiam, tapi tak berarti aku bodoh tak tahu apa-apa. Setiap semester aku juara kelas.  
Kini, sudah tak ada lagi yang setia membelaku di depan orang-orang. Ibuku meninggal saat aku lulus sarjana. Aku hidup sendiri di tengah masyarakat yang selalu menganggapku remeh. Alasannya, tak lain dengan masalah klasik pada umumnya, aku sarjana tapi tak bekerja. Aku memang pengangguran, tapi beruntung ibuku meninggalkan warisan yang kurasa tidak akan habis jika aku pakai sendiri. Oleh karena itulah mereka selalu mengira aku ini ngepet, ngipri atau semacamnya hingga aku bisa bertahan hidup sampai sekarang ini, tanpa harus bekerja.
****
Hari ini, aku datang mengunjungi makam ibuku yang terletak di samping makam ayah, dan kakak. Tak terasa air mata ini pun jatuh menimpa makam ibu yang kering, tak terawat. Aku tak tahu mengapa Tuhan membiarkanku hidup sendiri di dunia yang kejam ini. Mengapa hanya aku yang tersisa di keluargaku. Entahlah, mungkin Tuhan punya rencana indah di balik semua ini.
“ Tak ada gunanya kau menangis Fer.” Aku tak tahu kapan penjaga makam ini datang menghampiriku. Langsung ku usap wajahku dan belum sempat menjawab, dia menasehatiku.
“ Kau ini sudah dewasa Ferdi, kenapa sikapmu tidak berubah? Aku yakin keluargamu disana tidak senang kau hidup seperti ini, apa kau tak punya mimpi?”
“ Mimpi?”
“ Ya, kejarlah impianmu. Apakah kau tak kasihan pada ibumu yang menguliahkanmu hingga sarjana? Hingga ajal menjemputnya saat akan hadir di wisudamu?”
“ Aku tak bisa melawan takdir.” Kujawab sebisaku saja.
“ Ha ha ha. Yah, ternyata omongan warga itu memang benar, kau ini payah.” Dia tertawa seakan tak punya dosa dan pergi meninggalkanku begitu saja.
Mimpi katanya? Aku punya mimpi, tapi mungkin mereka akan menartawai mimpiku. Mimpiku bukan mimpi ibu. Aku ingin jadi seperti ayah dan kakak. Aku ingin menunjukkan pada semua orang kalau aku ini berguna. Tapi ibu takkan pernah mengizinkanku. Ibu tak pernah bilang kenapa ibu seperti ini padaku. Sarjana bukan impianku, bukan pula cita-citaku. Itu impian ibu.
****
Biasanya aku tak peduli dengan omongan orang, tapi entah mengapa aku selalu terngiang omongan penjaga pemakaman itu. Apa benar aku ini payah? Apakah memang aku tak berguna? Tidak mungkin. Aku tak sebodoh yang mereka kira. Aku akan buktikan pada orang-orang kampung kalau aku ini bukan sampah. Tapi bagaimana caranya? Entahlah.
Langkahku terhenti di depan rumah kosong itu lagi. Aku kaget setengah mati, dadaku rasanya sesak sekali melihat kobaran api melahap semua bangunan tua itu. Mengapa tidak ada orang yang berusaha memadamkannya?
“ Tolooooong, kebakaran....”
“ Percuma kau berteriak nak, warga yang membakarnya.” Selalu dengan tiba-tiba penjaga makam ini datang di hadapanku.
“ Tapi kenapa? Apa alasan mereka?”
“ Mereka kira itu tempat mu beraksi untuk melakukan pesugihan.”
Lidahku kelu mendengar ucapannya. Mereka telah menghancurkan kenanganku yang bahkan sampai saat ini belum ku temukan. Kata ibu, ayah meninggal di sini saat sedang bernegosiasi dengan orang-orang Jepang. Aku hanya ingin tahu, ayahku seperti apa, bahkan rupa pun belum pernah terbayangkan. Satu-satunya tempat untuk mengenang ayah kini hampir rata dengan tanah. Mungkin hidupku esok akan sangat menyedihkan, semakin tak berguna lagi dan mungkin aku enggan hidup. Andai aku datang lebih cepat mungkin aku bisa mencegah mereka. Tapi, sekali lagi aku tak bisa melawan takdir.
Tak hanya datang, dia pun menghilang begitu saja meninggalkanku lemas tak berdaya bersimpuh di tanah. Tak sengaja ku temukan selembar kertas usam di jejak kaki lelaki penjaga makam itu. Semacam surat, lebih tepatnya surat yang sudah tua. Tak ada nama pengirim dan tak ada nama yang dituju.
“ Dik, maafkan aku. Aku tak bisa menepati janji kita untuk merawat dan membesarkan anak kita bersama, ku serahkan semua tanggungjawabku padamu. Didiklah ia sampai ia tumbuh dewasa. Jikalau perlu, aku ijinkan kau untuk mencari penggantiku untuknya. Ia pasti membutuhkan sosok ayah untuk menjadi panutan dan sekedar untuk jadi teman berbincang. Aku sudah menyiapkan surat untuknya, jika sudah waktunya nanti, kau serahkan suratku untuknya. Jagalah ia, aku percaya ia akan jadi ksatriamu kelak yang akan setia melindungimu menjadin penggantiku. Berilah ia nama, Ferdinan Dwicitro.”
Ini namaku. Ada namaku dalam surat ini. Apa sebenarnya yang sedang aku baca ini? Apakah ini surat ayah untuk ibu sewaktu aku masih dalam kandungan? Tapi, kenapa tiba-tiba disini. Setiap hari aku masuk ke dalam rumah tua itu tak kutemukan apapun yang bisa jadi petunjuk kenangan ayah. Jika benar, lalu dimana surat kedua? Dimana surat ayah untukku? Apakah masih dalam rumah tua itu? Tidak mungkin ada celah untuk aku masuk. Aku tak mau mati sia-sia dalam kobaran api itu.
****
“ Ibu, apa benar ini surat ayah untuk ibu? Kenapa selama ini ibu merahasiakannya dariku? Dan kenapa surat ini tidak ibu simpan saja di rumah. Lalu dimana surat ayah untukku bu?”
“ Tak seharusnya kau marah di depan makam ibumu ”. Lelaki paruh baya itu tak lelahnya mengagetkanku dengan kedatangannya yang tiba-tiba.
“ Kau lagi”.
“ Yah, wajar aku kan penjaga kubur. Seharusnya kau tak heran aku disini”.
“ Apa kau mendengar yang semua aku katakan?”
“ Tentu saja. Teruslah menyalahkan keadaan. Kau ini bukannya mendoakan ibumu, ayahmu dan kakakmu, malah terus-terusan meratapi hidupmu yang malang. Setidaknya bersyukurlah kau masih bisa hidup”.
Aku bosan mendengarkannya menasehatiku. Aku pulang dengan sejuta pertanyaan di benakku. Jalan yang kulalui dari makam ke rumah tak cukup jauh, hanya sepuluh menit pun biasanya sudah sampai. Tapi kini, kenapa terasa lama sekali. Aku tak menyadari sebelumnya, ternyata ada banyak pemandangan yang sayang untuk dilewatkan di kampung ini. Kutengok belakang, ternyata dari jauh pun, pemakaman itu terlihat indah, rindang dan sejuk dengan kamboja putihnya. Tapi, ada yang aneh. Penjaga makam itu sedang merunduk di dekat makam ayahku. Emmm, mungkin sekedar membersihkan rumput yang sudah menyelimuti tanah makam ayah. Kembali kulangkahkan kaki menuju jalan setapak menuju rumah. Kutengok lagi ke belakang, penjaga makam itu tidak ada. Aneh.
Kuputuskan untuk kembali ke makam. Ku cari sosok lelaki itu tapi dia tak kelihatan. Mustahil, baru semenit tadi aku lihat dia disini. Tapi kini, dia menghilang. Tanpa kusadari, aku merinding. Siapa dia? Itulah pertanyaanku saat ini. Manusia atau bukan? Untuk kali kedua, ku temukan satu lembar kertas usam di jejak kaki lelaki itu. Kurasa, ini surat ayah. Dan ternyata benar.
“ Ferdi, bagaimana kabarmu? Maafkan ayahmu ini yang tak bisa menemanimu dan juga ibumu. Banyak hal yang sebenarnya ingin ayah ceritakan padamu, tapi pasti ibumu sudah cerita banyak bukan? Kau sekarang sebesar apa? Kau pasti gagah seperti ayah tentunya. Ayah berharap, kau selalu menjadi ksatria kebanggaan ayah dan ibu. Lindungi ibumu ya nak, jangan seperti ayah yang gagal menjaga kalian. Ayah dan kakakmu hanya tentara rakyat biasa yang mudah tumbang oleh tentara Jepang. Kakakmu lebih dulu pergi meninggalkan ayah dan ibu. Ayah harap kau hanya menjadi tentara ibu ya, lindungi ibumu sampai kapanpun. Jaga dia baik-baik. Walaupun keluarga kita dari keluarga tentara, tapi ayah tak ingin kau jadi tentara. Ayah tidak ingin kau pergi meninggalkan ibu seperti ayah dan kakak meninggalkan kalian. Turuti semua kata ibu. Titip ibu ya,jaga ibu dan cintai ibu. Cinta ayah selalu menyertaimu nak”.
Bagai tertimpa langit, sesak menghimpit dadaku. Kertas di tanganku pun basah oleh butiran air mata sesalku. Jadi semua ini jawabannya. Ibu tak pernah mengatakannya padaku. Ibu hanya diam tiap kali ku tanya alasannya. Kini tinggal sesal yang teramat besar menghampiriku, ibu tak sempat melihat impiannya terwujud. Aku pun tak punya foto wisuda dengan ibu. Foto dengan toga dan ijazah di tangan yang harusnya bisa ku tempel  di dinding ruang tamu untuk mengenang perjuangan ibu menghidupiku seorang diri.
****
Sejak waktu itu, aku tak pernah bertemu dengan lelaki penjaga makam itu. Sampai sekarangpun aku heran, kenapa surat-surat ayah kutemukan di jejak kaki penjaga makam itu. Apakah dia utusan Tuhan untuk memberiku semua jawaban ini? Aku berusaha mencari tempat tinggalnya. Entah apa yang harus aku katakan jika bertemu dengannya. Maaf tak pernah mengindahkannya atau terimakasih telah menunjukkan suatu jawaban padaku? Entahlah.
Tak kulihat ada rumah di dekat makam, atau semacam gubug tempat menyimpan kerandapun tak ada. Hanya ada seorang kakek tua yang sedang merumput di tanah lapang samping makam. Dia tetanggaku. Bukan itu orangnya.
“ Kau sedang apa di sini nak? Hampir setiap hari kau datang ke makam ini”. Kakek itu datang padaku, mungkin dia penasaran denganku sama penasarannya seperti aku dimana sebenarnya penjaga makam itu sekarang.
“ Ziarah makam keluarga kek. Penjaga makam yang biasanya membersihkan pemakaman ini dimana ya kek?”
“ Sudah lama sekali pemakaman ini tidak ada yang merawat dan menjaganya. Hanya penggali kubur yang datang tiap kali ada yang meninggal. Itupun tidak membersihkan makam yang lain”.
Mustahil. Bukan ini jawaban yang kuharapkan. Jelas-jelas tiap aku datang kesini aku selalu bertemu dengannya. Kecuali hari ini. Sosoknya memang misterius, sama seperti jejak langkahnya yang tak kutemukan lagi. Jejak langkah yang membawaku pada semua kenyataan yang sebenarnya untukku. Kenyataan yang mungkin pahit untuk ku sesali.
Kuputuskan untuk pulang dan berhenti mencarinya.  Mungkin lelaki itu memang takkan kembali lagi. Entah kemana dia menghilang. Takkan lagi kutemukan jejak kaki misterius itu. Mungkin tugasnya sudah selesai. Dan tugasku baru akan dimulai.
TAMAT

Kampung Inspirasi, 5 Agustus 2012

Jadi gimana? hehe,, iya aku buatnya udah lamaaaaa banget 2012 dan nembus FIP nya baru 24 Mei 2014. Dan sampe sekarang pun belum ada karya lagi. Haha, biarlah aku akan berkarya demi gelar S1 dulu. SEMANGAAAAAATTT!!!!